Sudah membaca trip saya ke Pulau Komodo dengan sailing trip selama 4 hari belum? Kalau belum boleh di cek dulu karena cerita ini sambungan dari cerita-cerita tersebut.
Komodo Flores to Lombok selama 4 hari 3 malam pada postingan ini:
How it began, Finally it happens, Padar island and its beauty, The clearest water I've ever seen, dan It's hard to say goodbye kepada orang-orang yang saya jumpai disana.
Saat saya merencanakan untuk pergi liburan selama 11 hari di timur Indonesia, saya yang sebelumnya belum pernah mencoba melakukan sailing selama 4 hari 3 malam serta scuba diving tentu ingin mencoba semuanya itu. Setelah sailing berakhir dan saya memilih untuk melanjutkan perjalanan ke Gili Trawangan, saat itu juga saya mencari lokasi scuba diving yang sekiranya sesuai dengan budget saya. Teman sailing saya dari Swedia (Andreas) yang tanpa sengaja bertemu kembali setelah berpisah dari saat kami turun kapal di Gili Trawangan juga saat itu mencari lokasi untuk dia Diving. Saya tidak tahu kalau ternyata selama beberapa hari sebelum sailing dia juga sudah scuba diving di Komodo dan meneruskan Diving tripnya lagi di Gili Trawangan serta masih lanjut lagi di Nusa Lembongan.
Standing UP Paddling
Besoknya saat saya sedang mencari tempat untuk spa, karena 4 hari 3 malam sailing badan sangat lelah jadi saya dan teman berencana untuk bangun siang dan melanjutkan untuk bersantai dengan ber-spa ria. Kami saat itu tidak berencana untuk bertemu lagi, tapi saat saya sedang didepan tempat spa tiba-tiba saya melihat teman itu lagi diperempatan sebuah gang. Karena jarak kami lumayan jauh, teman sudah keburu belok ke gang lain, jadi saya urungkan saja niat saya untuk memanggilnya dan langsung masuk ke tempat spa.
Saat itu tempat spa telah penuh, saya lalu diminta reservasi tempat untuk beberapa jam kedepannya. Selesai reservasi, saya yang sudah janjian dengan Jihye untuk makan siang bersama langsung menuju ke lokasi kami bertemu. Jihye sejak pagi sudah snorkeling sendirian di pantai, saya yang saat itu lapar begitu pula Jihye lalu berjalan bersama mencari tempat makan siang. Sebenarnya Jihye ingin sekali mencicipi bakso, tapi karena saat itu masih siang dan saya tidak melihat tempat bakso yang buka jadinya kami memilih Kafe Blue Marlin saja untuk makan siang kami. Blue Marlin ini sebenarnya tempat dive resort yang menawarkan jasa diving juga. Tanpa sengaja juga lokasi ini nantinya bakal menjadi tempat saya diving untuk pertama kalinya.
![]() |
"That would be my turn tomorrow," I said. |
Karena lelah, saya dan Jihyepun pulang ke hostel kami masing-masing. Karena keterbatasan bahasa dengan Jihye yang masih belum lancar berbahasa inggris, akhirnya Jihye tidak pernah bisa diajak untuk berjalan bersama lagi. Sayapun langsung ke tempat spa kembali dan memilih untuk melakukan perawatan Tradisional Bali Massages selama 2 jam. Saya beruntung mendapatkan pemijat yang pijatannya sangat pas dengan keinginan saya. 2 Jam saya lalui dengan sangat hikmat dan menenangkan. Lalu saya pergi ke arah pantai lagi dan mencari tempat untuk melakukan Stand Up Paddling. Liburan kali itu saya benar-benar ingin mencoba segala hal yang belum pernah saya lakukan sebelumnya, bahkan saya berencana untuk melakukan surfing juga di hari terakhir liburan saya disana.
Saya mencari lokasi untuk SUP tersebut berdasar riview dari Google Maps, sampai disana saya langsung memasukkan barang di loker yang mereka sediakan dan tanpa diajari sama sekali saya langsung diminta terjun ke pantai dengan papan SUPnya. Itu pertama kalinya saya menaiki papan SUP dan untungnya saya tidak jatuh kedalam air. Saya sempat kesal dengan instruktor yang diberikan kepada saya karena dia tidak mengajari bagaimana saya harus mengarahkan papan, bagaimana saya harus berdiri dipapan, bagaimana cara saya memutar dsb. Malahan instruktur meninggalkan saya begitu saja dan berlayar seenaknya sendiri.
Sampai akhirnya instruktur berhenti disatu titik dan meminta saya untuk ikut berhenti, disana saya disuruh melihat dia mempraktekkan cara berdiri dari papan dan untungnya lagi saya berhasil dalam sekali percobaan. Setelahnya sang instruktur pergi entah kemana meninggalkan saya sendirian, karena saya masih takut jatuh oleh ombak yang lumayan besar saya hanya berlutut dan memacu papan saya ke arah tengah. Saya menuju ke arah tengah karena saat saya ber-SUP di lokasi snorkeling, beberapa kali saya hampir menabrak orang yang sedang snorkeling. Saya sudah berteriak agar mereka jangan mendekat ke arah saya, namun mereka tidak bisa mendengar teriakan saya karena posisi telinga mereka yang didalam air.
Saat di tengah ini saya hanya duduk dan menikmati goyangan sang ombak yang mendayu-dayu saat itu. Sampai akhirnya saya melihat kura-kura yang berenang ke arah saya lalu melewati bawah papan saya naik ke atas untuk mendapatkan udara lalu turun kedalam laut lagi. Saya kemudian menggerakkan kayuhan saya lagi dan mulai mengikuti sang kura-kura, sangat menyenangkan melihat kura-kura tersebut dari atas papan SUP. Saya sempat kecewa juga karena tidak bisa mengabadikan momen itu, terutama karena saya tidak berani membawa kamera maupun hp saya saat ber-SUP ria.
Setelah cukup lama menikmati waktu sendiri diatas papan ditengah laut, saya akhirnya kembali ke area penyewaan papan dan meminta stafnya untuk memfoto saya dari pinggir pantai. Sang staf juga mempersilahkan saya untuk memakai papannya lagi selama 30 menit, katanya sih bonus. Saya yang tidak mau menyia-nyiakannya langsung mengayuh papan SUP saya lagi dan menikmati sang ombak diantara kapal-kapal yang sedang bersandar disana. Lelah ber-SUP ria, sayapun kembali ke pantai dan mengembalikan papannya. Kemudian saya mengambil barang saya dan menyewa sepeda didekat lokasi penyewaan SUP tersebut.
Oh ya untuk SUP tadi, saya harus membayar IDR 100k selama 1 jam penyewaan, 1 jam yang terlihat sebentar teryata lama juga saat sudah terjun dilautnya. Saya lalu dibantu staf tersebut untuk menyewa sepeda disebelahnya, harga sewa sepeda hanya IDR 45rb selama 24 jam. Meskipun saya tawar lagi, sang penyewa tidak mau menurunkan harga sewanya jadi ya sudah, lumayan juga sepedanya bagus dan terlihat baru. Lalu saya bersepeda ke arah sunset paradise menanti matahari tenggelam serta memotretnya lalu lanjut ke area yang sepi oleh orang lain. Saya melihat seorang bapak yang duduk sendirian disana, sepertinya sih si bapak ini penduduk lokal Gili Trawangan. Saya sangat penasaran dengan apa yang dipikirkan oleh sang bapak karena saya lihat sang bapak sedang tenggelam kedalam pikirannya yang teramat dalam.
Saya tidak berani mengganggu sang bapak meskipun sebenarnya saya ingin mengajaknya berbicara saat itu. Karenanya, saya hanya berani memfoto siluet bapak tersebut lalu pergi mengayuh sepeda saya lagi ke arah Gili Trawangan lainnya. Saya sengaja memutari area Gili Trawangan saat itu, hanya saja melewati jalanan berpasir sangatlah susah hingga saya harus berkali-kali turun dan menuntun sepeda saya. Lokasi yang saya lewati lebih sepi dibanding lokasi dekat hostel saya. Banyak resort-resort mewah serta kafe-kafe yang penuh dengan turis juga, serta ada api unggun, orang yang menari dengan api, serta proyektor besar untuk menonton film disamping pantai, semuanya terlihat dari jalanan yang saya lalui dengan sepeda tersebut. Tibalah saya di area pusat GT lagi dan saya memutuskan untuk berkeliling mencari tempat untuk scuba diving untuk esok hari sebelum pulang ke hostel untuk beristirahat.
![]() |
Sepeda dimana-mana, Haarlem Netherlands, 08 Mei 2018. |
Pagi itu saya bangun lebih awal dan lanjut mempersiapkan diri untuk berjalan-jalan di area Amsterdam nantinya. Saya kemudian berkeliling di area hotel sambil menunggu teman yang masih bersiap-siap di dalam kamar. Lokasi hotel kami memang cukup menyenangkan karena berada disisi taman Oosterpark Amsterdam. Keluar hotel saya langsung melihat indahnya pepohonan hijau dan sungai kecil yang mengalir dengan angsa-angsa putihnya disana. Suara-suara burung yang berkicau, orang-orang yang mengayuh sepedanya, serta sampah botol-botol beer dikiri-kanan tempat sampah menjadi pemandangan saya saat melangkah keluar dari pintu hostel itu.
Saya kemudian memutar ke arah jalanan Mauritskade, melihat parkiran sepeda serta mobil menggunakan mesin parkir yang masih terlihat mengesankan bagi saya, lalu pulang kembali ke area lobby hostel. Di lobby saya melihat teman sekamar kami, namanya Morouj, keturunan Saudi Arabia yang sekarang tinggal di Toronto Kanada. Morouj saat itu juga harus meninggalkan Belanda untuk kembali ke Kanada setelah beberapa minggu berada di Amsterdam. Kamipun disana bercakap-cakap sampai pukul 10.00 waktu kami harus check-out datang.
Saya langsung masuk kembali ke dalam kamar untuk mengambil koper saya serta menjemput teman yang masih disana. Beberapa saat kemudian kami menuju ke resepsionis dan melakukan check-out lanjut ke area locker room untuk storing koper-koper kami. Morouj masih menunggu kami dan berjalan ke arah halte bus bersamaan, iya saat itu kami bertiga sama-sama menuju ke arah Amsterdam Centrum.
Setelah berpelukan dan berharap akan bertemu lagi nantinya, saya dan teman harus turun di satu halte sebelum Amsterdam Centrum tempat tujuan Morouj berhenti. Bukannya langsung ke The Body Shop, kami malah kalap dan masuk ke area Primark di dekat halte. Banyak baju-baju murah dijual disana, serta barang-barang lain yang mengharuskan kami untuk berjalan-jalan sampai kelantai atasnya. Lucunya saat sedang memilih-milih baju, kami mendengar seseorang sedang bercakap dengan berbahasa Indonesia yang praktis membuat kami mendekat kearahnya. Sayangnya, bukannya disapa balik kami malah dicuekin dan dianggap tidak ada. Kami sempat kecewa lalu meninggalkan wanita tersebut untuk mencari baju kembali.
Kami kemudian turun dan lanjut ke area The Body Shop, saat teman selesai membeli barangnya kami lanjutkan kembali masuk ke area primark karena teman masih kepikiran untuk membeli goodie bag yang kita lihat dilantai atas tadi. Saya hanya menunggu teman dilantai bawah sambil duduk seperti para lelaki-lelaki lain yang sedang menunggu pasangannya berbelanja disana. Bosan duduk, sayapun langsung ke area pernak-pernik make-up serta kacamata serta memilih barang disana sampai teman datang. Karena Amsterdam saat itu sangat terik dan membuat kami memicingkan mata melawan cahayanya, jadi kami berdua sama-sama membeli kacamata. Saat memilih tadi saya bertemu dengan seorang pria yang kebetulan orang Indonesia juga. Berbeda dengan wanita yang kami temui tadi, pria ini cukup bersahabat dengan kami sampai akhirnya kami tahu bahwa ia disana karena menjadi travel agen dan sedang menunggu traveler yang dibawanya untuk berbelanja. Setelah berbicara panjang-lebar dengan pria tersebut, kamipun berkenalan dan nama pria tersebut adalah Gilbert.
Mas Gilbert memberikan kami rekomendasi untuk membeli fried chicken di FEBO, katanya rasa ayamnya enak dan porsinya besar. Kami lalu berpamitan karena hari sudah menjelang siang, saya dan teman juga masih mampir ke Hema. Kami masuk Hema karena teman sangat tergila-gila dengan buah peach baca cerita ini dan temannya menyarankan untuk membeli minuman rasa buah peach tersebut disana (seperti soda/sparkling water). Saya ikut tertarik dan membeli minumannya yang rasa kiwi, minuman tersebut baru saya coba sedikit saat saya di Belgia. Namun karena saya tidak terlalu suka dengan rasanya, jadi minuman tersebut terbuang begitu saja setelah beberapa kali saya icip.
Nah, keluar dari Hema kami langsung berjalan ke arah Febo yang tadi direkomendasikan oleh mas Gilbert. Antrian di Febo lumayan panjang saat itu untuk membeli ayamnya, meskipun ada juga makanan siap saji seperti hotdog dan burger yang bisa kita beli dengan memasukkan beberapa euro di mesinnya tanpa perlu antri. Tapi melihat orang lain yang menikmati ayamnya yang berukuran sangat besar membuat kami tak bisa menghindar untuk membeli ayamnya. Sampai didepan penyaji kami langsung memilih paket ayam dan kentangnya kalau tidak salah, lupa juga berapa euro harganya karena saya tak sempat memfoto menu dan tampilan makanannya. Kami langsung keluar dan mencari tempat untuk duduk dan menikmati ayam tersebut, pilihan kami jatuh di area pinggir kanal di sini.
Nah, saat kami makan ditangga depan apartemen tersebut tiba-tiba ada penghuninya yang permisi ke kami untuk masuk kerumahnya. Otomatis kami merasa tidak enak karena harus mengemper didepan apartemennya untuk memakan makanan Febo tadi. Ya bagaimana, Febo tidak menyediakan tempat untuk makan disana, mencari lokasi duduk juga butuh usaha jadi kami tahan saja rasa malu kami. Untungnya juga sang penghuni apartemen tadi mempersilahkan kami untuk makan dengan khitmat disana, jadi ya kami lanjutkan saja. Kamipun juga membeli minuman di dekat sana karena minuman yang kami bawa habis dilanjutkan berjalan ke arah Grote Marktnya.
Disepanjang jalan menuju Grote Markt, ternyata tak hanya kami yang duduk mengemper untuk memakan makanannya, banyak juga turis yang juga begitu. Terlalu banyak turis dan food stall take away menyebabkan kami semua harus mengemper seperti itu karena tidak disediakan tempat untuk duduk. Di Grote Markt kami melihat ada orang-orang yang sedang berdemo juga, tapi kami tidak begitu ngeh dengan apa yang mereka tuntut dan lanjut berkeliling saja disana memutar sampai akhirnya kami naik tram kearah Bloemenmarkt.
Bloemenmarkt terkenal oleh para turis karena merupakan tempat untuk membeli berbagai pernak-pernik untuk dibawa pulang ke negara masing-masing. Ada tempelan kunci, bibit bunga tulip, stroopwafel, dan lain-lainnya. Saya saat itu sengaja membeli stroopwafel untuk saya berikan ke orang tua saya nantinya. Kami mampir ke kiri dan kanan toko untuk melihat-lihat saja, sampai tibalah kami di Munttoren dan berfoto ria di area sana. Kami berjalan lurus terus dan kaget mendapati diri kami kembali ke area Grote Markt yang sudah kami tinggalkan tadi. Kamipun bergegas ke arah halte karena sebentar lagi sudah saatnya kami harus ke Amsterdam Sloterdjik untuk menuju ke Antwerp Belgia. Namun sebelum kembali ke hostel untuk mengambil koper, kami putuskan untuk mampir sebentar ke area Rijksmuseum dan melihat suasana di area sana.
Di perjalanan ke Halte, tanpa sengaja kami menjumpai satu roomate kami. Karena tidak begitu mengenalnya juga kami hanya menyapanya basa-basi lalu menaiki tram kami ke arah Rijksmuseum. Sampai di Rijksmuseum kami melihat ramainya orang yang sedang berfoto ria di area I AM AMSTERDAM. Karena kami malas untuk ikut berdesak-desakan, kami hanya berjalan-jalan disekelilingnya sambil memotret suasana disana. Kamipun melewati Van Gogh Museum sambil mendengar musik dari orang yang sedang memainkan gitar didepannya. Karena waktu yang sangat mepet, kami yang tertarik untuk masuk kesana terpaksa melewatinya begitu saja dan langsung menuju ke arah halte untuk menaiki tram ke arah hostel.
Sampailah kami dihalte dekat dengan hostel kami, dalam perjalanan dari halte ke arah hostel ini, kami melihat banyak sekali orang-orang yang sedang berkumpul menggelar makanan sambil sunbathing ria dilapangan taman. Ada juga yang sedang barbeque-an karena disana memang disediakan tempat untuk bbq-an. Sampai di hostel, kami langsung mengambil koper kami dari locker dan langsung berjalan cepat ke arah halte serta lanjut ke stasiun. Waktu kami tinggal satu jam dan jarak antara Hostel ke arah halte kami lanjut ke Amsterdam Sloterdjik adalah 30 menit. Namun tram untuk menuju ke stasiun tak kunjung datang dan kami harus menunggu lama hingga membuat saya ketakutan kalau nantinya kami telat dan OuiBus akan meninggalkan kami begitu saja.
Karena rute bus ini tidak dalam rencana kami sama sekali, saya juga kaget karena bus ini ternyata berhenti di Terminal Amsterdam Centrum. Saya tahu kalau itu Amsterdam Centrum setelah melihat bus arah ke Zaanse Scans yang saya pelajari rutenya sebelum sampai di Eropa. Lalu dengan rasa cemas luar biasa, sampailah kami di Amsterdam Sloterdjik dan kami berlari mengitari Stasiun dan terlihatlah Bus lain di bawah Stasiun itu. Kami melihat banyak orang menunggu bus di satu sudut, tapi karena disana hanya ada Flexi Bus dan saya melihat Ouibus di sudut yang lain sayapun menuju ke arah OuiBus tersebut. Tapi setelah sampai dilokasi Ouibus tersebut, ternyata Ouibus tersebut bukanlah Ouibus yang siap untuk dikendarai, melainkan OuiBus yang sedang dalam maintenance. Kami akhirnya diarahkan oleh orang disekitar OuiBus tersebut untuk kearah sudut dimana orang-orang sedang mengantri untuk masuk Flexi Bus. Ealah.
Teman saya sebenarnya sudah mengingatkan saya untuk ke sudut tersebut, tapi karena merasa cemas saya tidak bisa mendengar teriakan teman saya sama sekali. Lalu kami kearah sudut yang benar tersebut dan cukup lega karena OuiBus kami belum juga tiba disana alias ngaret. Hampir saja ketinggalan bus arah Amsterdam ke Antwerp ini kalau saja Bus datang tepat waktu kan. Dan baru kali itu kami bersyukur bus datang terlambat alias ngaret, kalau tidak kami kudu beli tiket baru untuk menuju ke Antwerp sore itu yang sudah pasti harganya akan sangat mahal, Oh No Belgia! Beberapa menit kemudian OuiBus datang dan setelah diperiksa tiket serta passport kami, kami langsung masuk kedalam setelah sebelumnya memasukkan koper kedalam bagasi. Perjalanan ke Antwerp Belgia kemudian dimulai dan itu pertama kalinya saya tidak tidur saat didalam bus karena pemandangan yang terhampar saat langit masih terang sangat berharga untuk disia-siakan.
OuiBus saat itu hanya terisi beberapa kursi, saya dan teman memilih untuk duduk sendiri-sendiri supaya masing-masing dari kami mendapatkan posisi dekat jendela. Lumayan kan bisa melihat pemandangan diluar bus tanpa harus mengganggu teman disebelah kita. Diperjalanan ke arah Antwerp, OuiBus berhenti juga di Utrecht untuk mengangkut penumpang lalu lanjut lagi berjalan melewati Rotterdam dan sampailah kami di Antwerp. Dari Rotterdam ke Antwerp saya sudah mulai terlelap tidur hingga saat masuk ke area Antwerp saya terbangun karena jalanannya yang bergeronjal oleh jalanan yang ber-paving sangat menganggu ketenangan saya di dalam bus. Turun di Antwerp kami langsung disapa oleh dinginnya angin yang berhembus malam itu yang melebihi dingin yang kami rasakan di dua negara sebelumnya.
Tulisan dibuat pada 09-10 September 2020
Kami kemudian turun dan lanjut ke area The Body Shop, saat teman selesai membeli barangnya kami lanjutkan kembali masuk ke area primark karena teman masih kepikiran untuk membeli goodie bag yang kita lihat dilantai atas tadi. Saya hanya menunggu teman dilantai bawah sambil duduk seperti para lelaki-lelaki lain yang sedang menunggu pasangannya berbelanja disana. Bosan duduk, sayapun langsung ke area pernak-pernik make-up serta kacamata serta memilih barang disana sampai teman datang. Karena Amsterdam saat itu sangat terik dan membuat kami memicingkan mata melawan cahayanya, jadi kami berdua sama-sama membeli kacamata. Saat memilih tadi saya bertemu dengan seorang pria yang kebetulan orang Indonesia juga. Berbeda dengan wanita yang kami temui tadi, pria ini cukup bersahabat dengan kami sampai akhirnya kami tahu bahwa ia disana karena menjadi travel agen dan sedang menunggu traveler yang dibawanya untuk berbelanja. Setelah berbicara panjang-lebar dengan pria tersebut, kamipun berkenalan dan nama pria tersebut adalah Gilbert.
Mas Gilbert memberikan kami rekomendasi untuk membeli fried chicken di FEBO, katanya rasa ayamnya enak dan porsinya besar. Kami lalu berpamitan karena hari sudah menjelang siang, saya dan teman juga masih mampir ke Hema. Kami masuk Hema karena teman sangat tergila-gila dengan buah peach baca cerita ini dan temannya menyarankan untuk membeli minuman rasa buah peach tersebut disana (seperti soda/sparkling water). Saya ikut tertarik dan membeli minumannya yang rasa kiwi, minuman tersebut baru saya coba sedikit saat saya di Belgia. Namun karena saya tidak terlalu suka dengan rasanya, jadi minuman tersebut terbuang begitu saja setelah beberapa kali saya icip.
Nah, keluar dari Hema kami langsung berjalan ke arah Febo yang tadi direkomendasikan oleh mas Gilbert. Antrian di Febo lumayan panjang saat itu untuk membeli ayamnya, meskipun ada juga makanan siap saji seperti hotdog dan burger yang bisa kita beli dengan memasukkan beberapa euro di mesinnya tanpa perlu antri. Tapi melihat orang lain yang menikmati ayamnya yang berukuran sangat besar membuat kami tak bisa menghindar untuk membeli ayamnya. Sampai didepan penyaji kami langsung memilih paket ayam dan kentangnya kalau tidak salah, lupa juga berapa euro harganya karena saya tak sempat memfoto menu dan tampilan makanannya. Kami langsung keluar dan mencari tempat untuk duduk dan menikmati ayam tersebut, pilihan kami jatuh di area pinggir kanal di sini.
![]() |
Pemandangan dari lokasi kami ngemper. |
Disepanjang jalan menuju Grote Markt, ternyata tak hanya kami yang duduk mengemper untuk memakan makanannya, banyak juga turis yang juga begitu. Terlalu banyak turis dan food stall take away menyebabkan kami semua harus mengemper seperti itu karena tidak disediakan tempat untuk duduk. Di Grote Markt kami melihat ada orang-orang yang sedang berdemo juga, tapi kami tidak begitu ngeh dengan apa yang mereka tuntut dan lanjut berkeliling saja disana memutar sampai akhirnya kami naik tram kearah Bloemenmarkt.
Bloemenmarkt terkenal oleh para turis karena merupakan tempat untuk membeli berbagai pernak-pernik untuk dibawa pulang ke negara masing-masing. Ada tempelan kunci, bibit bunga tulip, stroopwafel, dan lain-lainnya. Saya saat itu sengaja membeli stroopwafel untuk saya berikan ke orang tua saya nantinya. Kami mampir ke kiri dan kanan toko untuk melihat-lihat saja, sampai tibalah kami di Munttoren dan berfoto ria di area sana. Kami berjalan lurus terus dan kaget mendapati diri kami kembali ke area Grote Markt yang sudah kami tinggalkan tadi. Kamipun bergegas ke arah halte karena sebentar lagi sudah saatnya kami harus ke Amsterdam Sloterdjik untuk menuju ke Antwerp Belgia. Namun sebelum kembali ke hostel untuk mengambil koper, kami putuskan untuk mampir sebentar ke area Rijksmuseum dan melihat suasana di area sana.
Di perjalanan ke Halte, tanpa sengaja kami menjumpai satu roomate kami. Karena tidak begitu mengenalnya juga kami hanya menyapanya basa-basi lalu menaiki tram kami ke arah Rijksmuseum. Sampai di Rijksmuseum kami melihat ramainya orang yang sedang berfoto ria di area I AM AMSTERDAM. Karena kami malas untuk ikut berdesak-desakan, kami hanya berjalan-jalan disekelilingnya sambil memotret suasana disana. Kamipun melewati Van Gogh Museum sambil mendengar musik dari orang yang sedang memainkan gitar didepannya. Karena waktu yang sangat mepet, kami yang tertarik untuk masuk kesana terpaksa melewatinya begitu saja dan langsung menuju ke arah halte untuk menaiki tram ke arah hostel.
Sampailah kami dihalte dekat dengan hostel kami, dalam perjalanan dari halte ke arah hostel ini, kami melihat banyak sekali orang-orang yang sedang berkumpul menggelar makanan sambil sunbathing ria dilapangan taman. Ada juga yang sedang barbeque-an karena disana memang disediakan tempat untuk bbq-an. Sampai di hostel, kami langsung mengambil koper kami dari locker dan langsung berjalan cepat ke arah halte serta lanjut ke stasiun. Waktu kami tinggal satu jam dan jarak antara Hostel ke arah halte kami lanjut ke Amsterdam Sloterdjik adalah 30 menit. Namun tram untuk menuju ke stasiun tak kunjung datang dan kami harus menunggu lama hingga membuat saya ketakutan kalau nantinya kami telat dan OuiBus akan meninggalkan kami begitu saja.
Beberapa menit kemudian saya cukup lega saat tram datang, sampai titik stasiun kami turun, teman melihat ada bus disebelah kami pas yang menuju ke Amsterdam Sloterdjik. Di Google Maps, kami disarankan untuk menaiki kereta dari stasiunnya ya bukan dari halte seperti ini. Tapi dengan impulsifnya kami memutuskan untuk menaiki bus tersebut berharap dapat sampai ke arah Amsterdam Sloterdjik secepatnya. Dengan perasaan cemas, saya melihat rute bus tersebut yang ternyata harus memutar kearah utara amsterdam. Saya sangat cemas karena pada Google Maps saya, perkiraan waktu sampai di Amsterdam Sloterdjik hanya bersela 3 menit dari jam keberangkatan bus kami. Tapi teman saya menyuruh saya untuk tenang sambil melihat pemandangan Amsterdam bagian utara dari arah bus kami, "tenang aja Mi," katanya.
Karena rute bus ini tidak dalam rencana kami sama sekali, saya juga kaget karena bus ini ternyata berhenti di Terminal Amsterdam Centrum. Saya tahu kalau itu Amsterdam Centrum setelah melihat bus arah ke Zaanse Scans yang saya pelajari rutenya sebelum sampai di Eropa. Lalu dengan rasa cemas luar biasa, sampailah kami di Amsterdam Sloterdjik dan kami berlari mengitari Stasiun dan terlihatlah Bus lain di bawah Stasiun itu. Kami melihat banyak orang menunggu bus di satu sudut, tapi karena disana hanya ada Flexi Bus dan saya melihat Ouibus di sudut yang lain sayapun menuju ke arah OuiBus tersebut. Tapi setelah sampai dilokasi Ouibus tersebut, ternyata Ouibus tersebut bukanlah Ouibus yang siap untuk dikendarai, melainkan OuiBus yang sedang dalam maintenance. Kami akhirnya diarahkan oleh orang disekitar OuiBus tersebut untuk kearah sudut dimana orang-orang sedang mengantri untuk masuk Flexi Bus. Ealah.
Teman saya sebenarnya sudah mengingatkan saya untuk ke sudut tersebut, tapi karena merasa cemas saya tidak bisa mendengar teriakan teman saya sama sekali. Lalu kami kearah sudut yang benar tersebut dan cukup lega karena OuiBus kami belum juga tiba disana alias ngaret. Hampir saja ketinggalan bus arah Amsterdam ke Antwerp ini kalau saja Bus datang tepat waktu kan. Dan baru kali itu kami bersyukur bus datang terlambat alias ngaret, kalau tidak kami kudu beli tiket baru untuk menuju ke Antwerp sore itu yang sudah pasti harganya akan sangat mahal, Oh No Belgia! Beberapa menit kemudian OuiBus datang dan setelah diperiksa tiket serta passport kami, kami langsung masuk kedalam setelah sebelumnya memasukkan koper kedalam bagasi. Perjalanan ke Antwerp Belgia kemudian dimulai dan itu pertama kalinya saya tidak tidur saat didalam bus karena pemandangan yang terhampar saat langit masih terang sangat berharga untuk disia-siakan.
OuiBus saat itu hanya terisi beberapa kursi, saya dan teman memilih untuk duduk sendiri-sendiri supaya masing-masing dari kami mendapatkan posisi dekat jendela. Lumayan kan bisa melihat pemandangan diluar bus tanpa harus mengganggu teman disebelah kita. Diperjalanan ke arah Antwerp, OuiBus berhenti juga di Utrecht untuk mengangkut penumpang lalu lanjut lagi berjalan melewati Rotterdam dan sampailah kami di Antwerp. Dari Rotterdam ke Antwerp saya sudah mulai terlelap tidur hingga saat masuk ke area Antwerp saya terbangun karena jalanannya yang bergeronjal oleh jalanan yang ber-paving sangat menganggu ketenangan saya di dalam bus. Turun di Antwerp kami langsung disapa oleh dinginnya angin yang berhembus malam itu yang melebihi dingin yang kami rasakan di dua negara sebelumnya.
Tulisan dibuat pada 09-10 September 2020
![]() |
Zaanse Schans, 07 Mei 2018. |
Pelan-pelan saya membuka mata dan mendapati cahaya fajar sudah mengelilingi saya diantara deru mesin Ouibus yang saya tumpangi semenjak tadi malam dari Paris. Kanan dan kiri terlihat siluet kincir angin yang terlihat epik karena berbarengan dengan cahaya matahari yang pelan-pelan terbit dari ufuk timur. Saya yang masih mengantuk lalu mengatupkan mata saya lagi hingga akhirnya lampu Bus dinyalakan oleh sang sopir pertanda bahwa kami sudah sampai di Amsterdam Sloterdijk. "Goedemorgen Netherlands, Hello Amsterdam!" bathin saya sambil tersenyum.
Semua penumpang lalu turun, serta menarik barang bawaan yang berupa tas dan koper dari bagasi Bus. Dingin yang menerpa kulit kami saat itu memaksa kami untuk mengenakan jaket kembali setelah terlepas sejak pukul 23.00 malam tadi. Badan yang masih kuyu karena terlelap diatas kursi bus selama 6 jam terpaksa kami seret untuk masuk kedalam stasiun. Menaiki beberapa anak tangga sambil menggotong koper kami yang berat, serta meninggalkan Ouibus yang masih dibawah sana, dibawah kami, dibawah stasiun, yang kemudian berbalik pergi meninggalkan kami semua.
Saat itu masih sangat pagi, hingga konter-konter pembelian tiket masih tutup. Kami berdua kemudian berjalan kearah toilet, yang pintunya otomatis membuka setelah kami memasukkan beberapa cent euro kedalam mesinnya. Kami butuh beberapa waktu untuk memahami sistem kerja sang pintu toilet hingga akhirnya teman saya masuk kesana sementara saya mendungkruk melawan dingin didepan toiletnya, menanti giliran.
![]() |
WC/Toilet dengan pintu yang otomatis terbuka saat memasukkan beberapa cent euro. |
Saya sempet syok melihat kondisi toilet yang kotor dan banyak tisu kotor yang berceceran dilantainya, pesing, sayapun menutup hidung dengan jilbab saya. Keluar dari toilet saya mendengar dering handphone saya berbunyi, saya lihat nama Bos saya tertera dilayar telepon, praktis langsung saya angkat telepon tersebut dan menjawab pertanyaan dari beliau. "Dimana mbak Umi? Jam berapa disana?" saya sempet kaget juga ternyata saat itu di Amsterdam masih pukul 05.49 sementara di Indonesia sudah pukul 10.49. Lalu saya membayangkan bagaimana kondisi perusahaan yang sedang sibuk-sibuknya di Indonesia dengan saya yang masih mengumpulkan nyawa karena baru bangun tidur beberapa waktu lalu.
Kami berdua lanjut menuju ke kounter pembelian kartu transportasi Amsterdam & Region yang baru buka pada jam 06.00. Belum juga buka, didepan kounter sudah mengular antrian oleh para turis yang menanti kounter dibuka. Tanpa Kartu tersebut, kami tidak bisa kemana-mana karena untuk masuk ke lokasi peron diharuskan menge-tap si kartu itu. Tak selang berapa lama kounter lalu dibuka, kami berdua memilih untuk membeli kartu Amsterdam & Region selama 3 hari karena memang kami akan berkeliling di Amsterdam dan sekitarnya selama 3 hari, pas kan. Harga kartu tersebut sebesar Euro 33.50 atau IDR 561.125 (karena rate euro saya IDR 16.750 saat itu), lumayanlah bisa naik turun sepuasnya dengan transportasi disana selama 3 hari dengan kartu ini.
![]() |
Kartu yang berlaku selama 3 hari unlimited naik kereta maupun bus juga tram. |
Karena selama hampir 2 hari kami belum mandi, maka saat di Paris kami sudah merencanakan akan mandi terlebih dahulu di kolam renang manapun yang bisa kami temui di Amsterdam. Informasi yang kami dapat dari internet, kami bisa mandi di area President Kennedylaan yakni di De Mirandabad. Kami menaiki kereta dari Amsterdam Sloterdijk ke arah Amsterdam Rai dilanjut naik tram dan jalan kaki kesana. Sudah senang sampai sana karena lumayan juga jaraknya kan, eh ternyata kami ditolak alias tidak diperbolehkan. Alasannya, karena kolam renang hanya bisa digunakan untuk yang memiliki pass disana, jadi harus punya membership gitu sepertinya. Informasi yang kami dapat sebelumnya berarti ngaco.
Lalu kami mulai mencari hostel untuk ikut mandi disana sebentar dengan reserve 1 kamarnya on the spot saja. Dari Kenneylaan kami lanjut naik tram ke salah satu hostel itu, namun setelah berjuang menggeret koper dari halte ke hostelnya, kami ditolak lagi karena posisi kamar saat itu penuh. Lalu kamipun langsung ke Generator Hostel saja, tempat kami tidur selama 3 hari nanti dan meminta ijin untuk menggunakan toiletnya sebentar untuk membersihkan diri.
Kalau diingat-ingat kok ya aneh juga kami dulu itu, kenapa ga langsung ke Generator Hostel saja gitu tapi malah kemana-mana dan zonk lol. Mungkin karena jam check-in di GH masih jam 15.00 sementara kami sampai di Amsterdam pagi sekali, makanya kami mencari-cari opsi lain. Jarak dari hostel yang awalnya mau kami jadikan tempat untuk mandi tadi ke Generator Hostel kamipun rupanya tidak begitu jauh. Masih naik tram sih, tapi kok ya pikiran kami kemarin ribet sekali gitu lho haha. Dari hostel itu ke GH kami turun di halte Amsterdam Beukenweg lalu berjalan melewati taman kota. Lucunya lagi, kami sebenarnya sudah melihat lokasi pintu GH, tapi karena gedungnya saat itu terlihat sepi dan mirip seperti laboratorium gitu, serta google maps menyuruh kami untuk memutar, jadinya kami mengikuti si maps saja yang ternyata malah menunjuk ke pintu satunya. Lokasinya cukup menyenangkan sebenarnya karena tepat disebelah taman kota yang rindang dan berudara segar. Namun cukup jauh juga dari halte-halte tram dan stasiun.
Kamipun meminta untuk early check-in ke pihak resepsionis, sudah disuruh menunggu cukup lama juga agar kami bisa mendapatkan ruangan saat itu juga, namun sistemnya menolak. Jadi ya kami langsung menyimpan koper kami saja di lokernya, tetap dengan membayar beberapa euro untuk menyimpannya ga ada yang gratis disana, dilanjut ke toilet untuk ganti baju dan membersihkan diri. Selesai bersih-bersih kami langsung berjalan kaki ke area Albert Heijn dan membeli beberapa makanan disana. Lalu menuju ke Dappermarkt, melihat-lihat barang dipasar terbuka serta membeli kacang-kacangan untuk dicemil berdua, saya juga membeli minuman dingin seharga 1 euro disana yang lumayan enak dan menyegarkan. Selanjutnya kami juga berputar-putar dilokasi itu, dan karena sudah mulai lapar kamipun masuk ke Mc Donal untuk makan siang. Selesai makan kalau tidak salah kami langsung pulang ke hostel kembali untuk check-in dan mandi, sorenya kami langsung menuju arah Muiderpoortstation untuk naik kereta ke Zaanse Schans.
![]() |
Lokasi paling menarik bagi fotographer disana untuk memotret pantulan rumah saat matahari mulai tenggelam. |
![]() |
Beberapa makanan yang saya beli di Albert Heijn. |
Saat itu sudah lumayan sore, kami sampai di Zaanse Schans mungkin sekitar jam 19.00. Tapi karena disana matahari tenggelam masih di jam 21.00 jadi kami masih merasa saat itu siang aja. Di Zaanse Schans-pun sudah lumayan sepi, dan semua restauran disana sudah pada tutup semua. Kami lalu berjalan di area Zaanse Schans serta berfoto-foto ria disana. Kami tak sengaja menjumpai orang-orang Indonesia disana saat kami mencari toilet di area ZS. Sayangnya mereka sudah akan pulang ke hotel mereka saat kami baru saja sampai disana. Kami juga mendapati banyaknya fotografer yang mengambil satu spot untuk memfoto pantulan warna dari rumah-rumah disana seperti gambar diatas. Karena sudah cukup lelah, kami lalu pulang kembali ke hostel diiringi dengan matahari yang pelan-pelan mulai tenggelam diantara deru mesin kereta yang kami naiki. Kami yang awalnya berencana ingin mampir ke Zandam Station karena melihat arsitekturnya yang unik harus membatalkan rencana tersebut karena sudah amat malam.
Diperjalanan antara stasiun ke hostel, kami sekalian mampir ke restauran untuk makan malam dan melihat ada restauran turki yang masih buka saat itu, saat itu sudah pukul 21.30. Saya sempat syok melihat porsi makanan yang disajikan kepada kami di restaurant tersebut. Mungkin karena saya masih jetlag juga, saya hanya bisa menghabiskan seperempat porsinya. Sayapun berinisiatif untuk membungkus sisanya untuk dimakan esok hari dan untungnya pihak restauran memahami itu dan membungkus makanan saya tadi. Teman saya yang sudah jalan 2 minggu di eropa tentunya oke-oke saja mendapati makanan dengan porsi sebanyak itu, berbeda dengan saya, teman saya mampu meghabiskan makanannya dengan sangat mudah hahaha.
Selesai makan kami mampir lagi di Albert Heijn yang kebetulan belum tutup, lalu saya membeli apel dan cemilan lainya untuk saya makan besoknya. Sampai di hostel kami langsung membersihkan diri dan bersiap untuk tidur lagi karena esoknya kami harus Menuju Keukenhof dan Kota Haarlem untuk menikmati indahnya lautan bunga tulip untuk pertama kalinya.
Tulisan dibuat pada 07 September 2020.
24/11 Tokyo ke Osaka
Awalnya kami berencana untuk
bangun pagi dan jalan ke area Asakusa Temple dulu sebelum ke Bandara Haneda. Namun
saya ternyata baru bangun jam 9 pagi meskipun sebelumnya sudah mendengar teman dan orang-orang yang telah bersiap-siap untuk memulai harinya di Jepang. Saya lalu bangun dan mandi barengan bersama teman saya lalu langsung bersiap-siap menggeret koper kami lagi serta check out dari hostel yang kami inapi malam itu. Jarak antara hostel ke stasiun lumayan jauh juga sampe kita rada menyesal memilih hostel tersebut, apalagi rute dari hostel ke stasiun harus melewati area turism yang luar biasa ramainya. Baca hari pertama kami di Jepang pada postingan ini.
![]() |
Source picture: Google. |
Baru saja saya membaca di Twitter mengenai kesetiaan seorang
suami kepada istrinya yang setelah 10 tahun menikah baru bisa hamil. Yang membuat
saya gerah adalah pujian yang diberikan kepada sang suami karena “telah setia” mendampingi sang istri yang tak kunjung hamil di 10 tahun pernikahannya. Seakan sang istri yang tak kunjung hamil itu dosa besar sampai suami yang tidak poligami
atau selingkuh seperti lelaki-lelaki lainnya (dasar tulisan dari komentar salah
satu orang) merupakan hal yang luar biasa.
Beberapa waktu lalu, saya sempat
bertemu dengan teman dilokasi jual-beli apartemen daerah Cikarang (Tahun 2017). Bersama temannya
teman saya (panggil saja X), kami bertiga mencari makan malam didaerah Cikarang dengan menaiki mobil. Setelah makan selesai kami langsung naik mobil
kembali kearah perumahan kantor saya yang saat itu sekalian saya tengok. Nah,
pada waktu inilah saya merasa janggal dengan posisi X yang selalu asyik video call-an dengan seorang wanita
disepanjang perjalanan kami. Tidak ada yang salah jika orang-orang melihatnya
dari sisi sebelum tahu bahwa si X ini adalah suami orang, pun sebelum tahu
kalau yang di video call bukan
merupakan istrinya sendiri melainkan selingkuhnya. Tapi saya yang saat itu tahu bahwa X ini telah
beristri (serta sedang mengandung anaknya) sedang ber video call-an
dengan wanita lain dengan mesranya itu merasa aneh dan gerah.
Lalu saya dan teman berpisah
dengan si X tersebut, saya sampaikan saja kegerahan saya kepada teman tentang
aksi si X. Namun teman saya (pria) ini bukannya ikut gerah malah membenarkan
aksi si X. Katanya hal itu wajar karena si X hidup berjauhan dengan sang istri,
terlebih sang istri tidak mau diajak ke Jakarta dan memilih tinggal
dikampungnya daripada mendampingi suaminya, yang tentu saja membuat saya
berang. Sang istri saat itu sedang hamil besar lho, bisa-bisanya sang suami
main mata dengan wanita lain dan diwajarkan oleh teman dan keluarga besarnya? Totally doesn’t makes any sense to me. Iya
keluarga si X juga ikut membenarkan dan malahan mendukung si X untuk main mata
dengan wanita lain ini. Informasi yang saya dapat dari teman saya, keluarganya
meyakini bahwa si X bermain mata dengan wanita lain itu tidak berdosa atau tidak salah, malahan didukung dengan dalih karena "salah sang istri" yang tidak mau mendampinginya di Jakarta. Like what?
Pikiran macam apa yang mewajarkan
perselingkuhan dengan dalih seperti itu? Itu salah. Apapun alasannya, tidak
boleh berselingkuh saat sudah didalam ikatan dengan orang lain, apalagi
pernikahan. Pernikahan bukanlah hal yang bisa dipermainkan begitu saja oleh
siapapun. Pernikahan itu suci, untuk masuk ke dunia pernikahan kita sudah harus
paham bahwa diri kita mengikat satu sama lain dengan pasangan kita. Kesetiaan adalah hal utama
yang menjadi pondasi pernikahan, dan itu mutlak. Jika dalam persiapan
pernikahan kesetiaan dirasa belum muncul, janganlah dipaksa karena akhirnya
bisa saja kita menjadi si X itu tadi dan itu sangatlah salah. Tidak hanya kesetiaan, komunikasi juga
sangatlah penting didalam pernikahan, pun pengertian atau saling memahami satu
sama lain. Jika hal yang dipermasalahkan dalam kasus diatas adalah karena sang
istri tidak mau menemani sang suami (karena sedang hamil besar), maka mereka
harus mengomunikasikan itu, bukannya membiarkan dan mencari jalan lain dengan
berselingkuh.
Mewajarkan sikap tidak setia
karena hal belum bisa hamil, belum bisa menemani sang suami, atau belum bisa
lain-lainnya merupakan hal sang sangat salah dalam pandangan pernikahan. Saat kita
berkomitmen untuk menikah, maka hal-hal seperti diatas harus sudah dimengerti
bahwa nantinya akan ada banyak kemungkinan-kemungkinan yang timbul yang
mengharuskan kita bersikap seperti apa terhadap pasangan kita, dukungan terutama. Suami maupun istri harus paham bahwa
pada akhirnya komitmen awal saat ikrar pernikahan dilayangkan adalah saat
dimana kita memahami bahwa suami dan istri harus siap untuk: mengurusi
pasangannya saat sakit, menemani pasangannya bertumbuh, hidup bersama, menua
bersama, yang artinya kesetiaan dan komunikasi ialah hal yang tidak bisa
dipisahkan lagi pada tahap ini. Suka duka ditanggung bersama singkatnya, tidak hanya sukanya saja.
Totally agree with her, begitu juga wanita ya. Screen-capture sudah mendapatkan ijin dari pemilik. |
Pernikahan tidak hanya diputuskan hanya
karena sudah lelah dengan pertanyaan-pertanyaan dari orang-orang sekitar, atau hanya karena sudah terlalu lama pacaran. Pernikahan
juga tidak seharusnya diputuskan karena ketidak-enakan dengan orang tua yang
terus memaksa kita untuk segera menikah. Menikah seharusnya keluar dari niatan
kita sendiri, dari kesiapan kita sendiri agar nantinya kita tidak menjadi
orang-orang yang mewajarkan hal yang salah hanya karena salah satu pasangan
tidak bisa melakukan satu hal dari banyak hal yang terlibat didalam pernikahan
itu.
Dalam kasus awal yang semula saya bicarakan tadi, kesetiaan sang pasangan memanglah hal yang sewajarnya dilakukan oleh pasangan yang saling mencintai. Bukan sesuatu yang wah sebenarnya, karena artinya sang pasangan tersebut sudah benar-benar paham tentang arti pernikahan yang sesungguhnya. 10 tahun di uji oleh kehamilan yang tidak juga datang dan mampu menjalaninya berdua dengan saling menopang membuktikan bahwa keduanya saling mencintai sebegitu dalamnya. Karena itulah arti cinta yang sesungguhnya kan? Saling menopang. Dan perlu diingat, hamil atau tidaknya sang istri itu bukan hanya usaha sang istrinya saja, tapi juga sang suami. Keduanya saling berhubungan, jadi tidak elok rasanya hanya membebankan hal itu ke satu orang saja.
komitmen/ko·mit·men/ n perjanjian (keterikatan) untuk melakukan sesuatu;
kesetiaan/ke·se·ti·a·an/ n keteguhan hati; ketaatan (dalam persahabatan, perhambaan, dan sebagainya);
Dalam kasus awal yang semula saya bicarakan tadi, kesetiaan sang pasangan memanglah hal yang sewajarnya dilakukan oleh pasangan yang saling mencintai. Bukan sesuatu yang wah sebenarnya, karena artinya sang pasangan tersebut sudah benar-benar paham tentang arti pernikahan yang sesungguhnya. 10 tahun di uji oleh kehamilan yang tidak juga datang dan mampu menjalaninya berdua dengan saling menopang membuktikan bahwa keduanya saling mencintai sebegitu dalamnya. Karena itulah arti cinta yang sesungguhnya kan? Saling menopang. Dan perlu diingat, hamil atau tidaknya sang istri itu bukan hanya usaha sang istrinya saja, tapi juga sang suami. Keduanya saling berhubungan, jadi tidak elok rasanya hanya membebankan hal itu ke satu orang saja.
Seyogyanya kita semua paham bahwa
dasar dari pernikahan itu adalah cinta dan komitmen, bukan karena ingin
berlomba dengan orang lain maupun kelelahan akan pertanyan “kapan nikah” yang
diujarkan orang lain ke diri kita. Pernikahan bukanlah hal yang main-main, apalagi setelah ikrar pernikahan terlontar karena pada saat itu juga hidup kita akan
selalu beriringan dengan pasangan kita. Dua pikiran yang disatukan oleh
pernikahan, dua manusia yang harus memulai hidup baru dengan saling
menggabungkan dua pemikiran didalamnya. Bukannya satu orang harus membuang kehidupannya untuk
mengabdi ke pasangan yang lain, itu namanya bukan lagi pernikahan tapi
perbudakan.
Sebelum memutuskan untuk menikah,
sebaiknya kita harus mengenal pasangan kita lebih dalam dahulu. Apakah pemikiran
dan visi misinya sama dengan kita, apakah ada hal-hal yang membuat kita bahagia
saat bersamanya, dan lain-lainnya. Jika tidak maka untuk apa diteruskan kan? Kita juga punya pilihan untuk membuat Perjanjian Pra Nikah, disana nanti secara gamblang akan dibuat hak dan kewajiban masing-masing pasangan, pun kita diperkenankan untuk memperlihatkan nilai pemasukan kita, hutang kita, dan lain-lainnya agar hal keuangan diantara pasangan nantinya tidak ada yang tersembunyikan.
Banyak orang yang menilai orang lain terlalu pemilih karena belum menikah juga pada usia tertentu. Padahal memang untuk menemukan pasangan diperlukan untuk “memilih” apalagi usia pernikahan itu selamanya. Sama halnya dengan memilih teman, kalau kita tidak bisa nyambung mana mungkin kita bisa berteman dengan orang tersebut kan, apalagi pernikahan. Dan kita perlu memahami juga bahwa setelah pernikahan masih ada kehidupan lain yang harus kita lalui, pernikahan bukanlah akhir dari segala permasalahan.
Saya menulis ini karena merasa banyak sekali pewajaran yang tidak layak yang diagung-agungkan oleh orang-orang disekitar kita saat ini. Seperti saat sang suami selingkuh, yang disalahkan bukannya sang suami yang telah menyeleweng tapi malah sang istri yang dibilang tidak merawat diri atau tidak memuaskan sang suami, "Ya wajar suaminya selingkuh, wong istrinya aja kek gitu," misalnya. Seakan-akan apapun yang suami lakukan itu benar, dan hanya sang istri-lah yang salah. Juga lingkungan yang selalu memburu-burui anak-anak untuk segera menikah diumur muda lalu memiliki anak setelahnya, seakan pernikahan dan memiliki anak adalah goal semua orang.
Pernikahan itu bukanlah pilihan semua orang, pun memiliki anak. Setiap orang berhak atas pilihannya masing-masing, dan kita tidak berhak untuk menghakimi ataupun memburu-burui. Yang patut kita hakimi adalah mereka yang dengan entengnya mempermainkan pernikahan dan mewajarkan hal yang tidak benar,padahal mereka sendiri sebenarnya paham bahwa hal itu tidak benar tapi toh tetap menjalankannya tanpa merasa bersalah.
Kalau menurut kamu, apa sih pernikahan itu? Apa pula kesetiaan itu?
Banyak orang yang menilai orang lain terlalu pemilih karena belum menikah juga pada usia tertentu. Padahal memang untuk menemukan pasangan diperlukan untuk “memilih” apalagi usia pernikahan itu selamanya. Sama halnya dengan memilih teman, kalau kita tidak bisa nyambung mana mungkin kita bisa berteman dengan orang tersebut kan, apalagi pernikahan. Dan kita perlu memahami juga bahwa setelah pernikahan masih ada kehidupan lain yang harus kita lalui, pernikahan bukanlah akhir dari segala permasalahan.
Saya menulis ini karena merasa banyak sekali pewajaran yang tidak layak yang diagung-agungkan oleh orang-orang disekitar kita saat ini. Seperti saat sang suami selingkuh, yang disalahkan bukannya sang suami yang telah menyeleweng tapi malah sang istri yang dibilang tidak merawat diri atau tidak memuaskan sang suami, "Ya wajar suaminya selingkuh, wong istrinya aja kek gitu," misalnya. Seakan-akan apapun yang suami lakukan itu benar, dan hanya sang istri-lah yang salah. Juga lingkungan yang selalu memburu-burui anak-anak untuk segera menikah diumur muda lalu memiliki anak setelahnya, seakan pernikahan dan memiliki anak adalah goal semua orang.
Pernikahan itu bukanlah pilihan semua orang, pun memiliki anak. Setiap orang berhak atas pilihannya masing-masing, dan kita tidak berhak untuk menghakimi ataupun memburu-burui. Yang patut kita hakimi adalah mereka yang dengan entengnya mempermainkan pernikahan dan mewajarkan hal yang tidak benar,
Kalau menurut kamu, apa sih pernikahan itu? Apa pula kesetiaan itu?
Jakarta & Transit
di Vietnam
Hari yang dinanti setelah berbulan-bulan menunggu perjalanan
ini dimulai akhirnya tiba. Saya sangat ingat saat itu tanggal 5 Mei 2018, pesawat Vietnam Airlines yang akan saya tumpangi dari CGK menuju Vietnam lalu
ke Paris akan berangkat pada pukul 13.55 dan akan sampai di CDG esok harinya
pukul 06.30. Saya yang sudah tidak sabar untuk berangkat ke bandara memutuskan
untuk berangkat pukul 07.00 pagi dari Purwakarta. Aslinya saya tidak mau
kejadian saat saya pergi ke Malaysia terulang lagi, yakni kena macet sampai 8
jam. Kan ga lucu kalau sampai saya ketinggalan pesawat ke eropa yang
notabenenya gratis ini, lihat postingan ini.
Ternyata arah Purwakarta ke Bandara CGK pagi itu sangat
mulus sampai-sampai pukul 09.00 pagi saya sudah tiba di CGK. Apesnya, saya
harus menunggu sampai pukul 12.00 untuk check-in pesawat dan itu sangat
membosankan. Sayapun akhirnya mencari makanan untuk mengganjal perut sekalian
duduk didalam restoran karena males juga menunggu pesawat selama 5 jam diluar
kan. Setelahnya saya langsung masuk ke area tunggu di Terminal 3 dan
mengasyikkan diri tidur-tiduran didalam sana.
Pukul 13.55 tepat, pesawat melaju ke arah Tan Son Nhat
International Airport atau Ho Chi Minh Saigon Airport (SGN) dengan jarak tempuh selama 3 jam. Dalam
perjalanan itu saya mendapat handuk basah hangat, serta tisu basah serta
cemilan, juga makan siang yang terbilang enak. Saat itu saya sudah menginformasikan
untuk diberikan makanan halal dalam perjalanan saya menggunakan Vietnam
Airlines ini. Enaknya jika meminta makanan khusus (dalam hal ini makanan Halal), kita akan mendapat service layanan makanannya pertama kali sebelum pramugari melayani penumpang lainnya.
Sampai di Saigon, saya lalu memutuskan untuk keluar ke kota
Ho Chi Minh karena masih ada waktu transit selama 5 jam sebelum terbang kembali menuju Paris. Lumayan juga kan bisa dapat satu stempel tambahan di pasport beserta
pengalaman melihat kota terbesar di Vietnam ini seperti apa. Beruntungnya, saya
mendapat kenalan yang saat itu dijemput oleh sopir suaminya dan saya diantar
menuju Ben Thanh Market. Karena waktu di Vietnam dengan di Indonesia sama, saya
tidak terlalu merasakan jetlag dan asyik-asyik saja berjalan disana sendirian. Yang
bikin saya kaget adalah banyak sekali turis asing disana, berbeda dengan di
Jakarta atau kota besar selain Bali di Indonesia lainnya.
Di Ben Thanh Market saya hanya berkeliling dan melihat-lihat
barang yang dijajakan sambil membeli dompet khas sana seharga VDong 60k atau
sebesar IDR 38k, lumayan dapat 6 dompet kecil. Disana gedung-gedung pencakar
langit lebih heboh ketimbang di Jakarta. Untuk transportasinya sendiri ada
bus-bus macam di Korea lengkap dengan halte yang memiliki kesamaan dengan
bentuk dan sistem di Korea. Tapi saya lebih memilih Grab untuk kembali ke
Bandara, karena Bus juga bisa kena macet parah disana, saya tak mau ambil
resiko. Nah, lucunya disini, saya menuju ke salah satu tukang Grab disana dan
mencoba untuk menge-link-kan aplikasi
kita agar bisa segera connect ke dia.
Maksud saya biar saya tidak menunggu driver
lain gitu, tapi karena adanya perbedaan & keterbatasan bahasa, akhirnya
kita hanya menggunakan bahasa isyarat. Lalu masnya mau mengantar saya ke
Bandara dengan harga yang sama dengan di Grab tanpa perlu meng-connect-kan aplikasi kita.
Saya awalnya agak was-was takut kena scam, tapi saat sampai
di Bandara saya lega juga karena yang saya bayar benar sesuai dengan yang
diaplikasi Grab. Kalau tidak salah saat itu saya hanya membayar kurang lebih VDong
40k atau IDR 25K padahal jaraknya lumayan jauh. Mengerikannya, pengemudi motor
disana lebih menakutkan dari yang di Indonesia, saya sampai ketakutan karena
hampir saja kesrempet oleh bus. Kayaknya memang busnya mau cari gara-gara sih,
ngebut gila gitu sampai menyerempet motor-motor didepannya, untungnya kami
selamat.
Sampai di Bandara, saya diarahkan oleh mas Grabnya ke jalan
yang digunakan pengguna ojek lainnya. Tapi saya cukup bingung karena malah
masuk di area penerbangan domestik. Lalu saya bertemu seseorang dan karena
orang tersebut juga mengarah ke Bandara Internasional akhirnya saya diajak
barengan. Sampai Bandara saya langsung check-in, tapi saat sampai di imigrasi saya sempet tertahan sebentar sampai sang
petugas bertanya ke petugas lainnya dengan membawa passport saya, tapi setelah
itu saya disuruh jalan lagi sih. Disana, kami diwajibkan melepas sepatu untuk
dilakukan pen-scan-an, keluar
imigrasi sudah langsung di area boarding-loungenya. Lalu pukul 22.10 tepat, pesawat melaju ke arah Paris, tidak ada delay
sama sekali.
Welcome to Paris
Yap, itu yang saya rasakan saat pesawat mulai take-off ke
arah Paris. Saya merasa excited dan
deg-degan, apalagi itu pertama kalinya saya ke eropa dan hampir 80% penumpang
di pesawat adalah orang berkulit putih semua. Sebelah saya merupakan pasangan
kekasih, saya tidak sempat mengajak mereka bicara karena saya grogi saat itu. Tapi
karena saya duduk disebelah jendela dan sedang menstruasi hari
kedua serta sedang pada volume sebanyak-banyaknya, saya berkali-kali harus mengganggu mereka
untuk keluar masuk kursi menuju toilet.
Sama dengan saat perjalanan dari Jakarta ke Vietnam tadi,
kami juga mendapat handuk hangat basah, tisu, serta cemilan, berikut juga makan
malam dan sarapan. Makanan VA ini sangat enak, sampai saya kekenyangan karena
berhasil menghabiskannya tanpa sisa (makanan utamanya ya, tidak termasuk roti
dan saladnya). Saya yang sangat excited
tidak bisa tidur dan terus melihat ke arah jendela lanjut ke layar dan jendela
lagi. Saya melewati Bay of Bengal, gurun
pasir yang terlihat jelas dari atas langit, lalu masuklah ke dataran eropa
dengan banyaknya kincir angin dan tanah yang hijau oleh pepohonan yang rindang.
Bangun tidur sudah berada di dataran Eropa, 6 Mei 2018. |
Lalu tibalah saya di Paris, tepat pada pukul 06.30 saya menginjakkan kaki di Benua Biru, di dataran Eropa untuk pertama kalinya, "Hei Eropa, Hei Paris!". Udara yang dingin menerpa kulit saya setibanya saya di garbarata, berikut juga dengan foto-foto pernikahan sesama jenis yang dipampang sebagai welcome pictures disisi kanan dan kiri garbaratanya. Lalu saya berjalan menuju ke bagian imigrasi yang penuh dengan orang-orang dari
berbagai belahan dunia serta berbagai warna dengan satu niatan yang sama: untuk sama-sama masuk ke dataran eropa.
Saat itu saya terapit oleh orang-orang berkulit hitam yang sangat tinggi-tinggi, dan itu juga pertama kalinya saya berinteraksi dengan orang berkulit hitam. Sampai di imigrasi saya lolos begitu saja tanpa ada pertanyaan apapun, lalu lanjut ke area bagasi untuk mengambil koper dan naik ke Departure Area untuk membeli Orange Card atau paket data di Relay. Orange Card banyak di rekomendasikan oleh orang-orang yang pernah datang ke Paris karena paket internetnya yang 10 GB masih dengan tambahan paket telpon gratis kemana saja selama beberapa jam (paket telpon ini akhirnya terpakai untuk menelpon pihak asuransi dan maskapai saat saya ada musibah di Belgia, baca disini dan disini), harganya saat itu €39.99 hampir IDR 700k, mahal ya.
Setelah dibantu aktifasi oleh pegawai Relay lalu saya menghubungi Teman yang telah berada di eropa
semenjak seminggu sebelumnya. Kami berjanji untuk bertemu di Gare Du Nord dan berjalan-jalan bersama
selama seminggu kedepannya. Lalu naiklah saya ke kereta dari CDG menuju GDN
hingga akhirnya saya bertemu Teman disana sekaligus menitipkan koper kami karena
kami tidak menyewa hotel hari itu. Kenapa kami tidak menyewa hotel? Karena malamnya
kami harus menuju Amsterdam Belanda dengan Ouibus.
Saat itu saya terapit oleh orang-orang berkulit hitam yang sangat tinggi-tinggi, dan itu juga pertama kalinya saya berinteraksi dengan orang berkulit hitam. Sampai di imigrasi saya lolos begitu saja tanpa ada pertanyaan apapun, lalu lanjut ke area bagasi untuk mengambil koper dan naik ke Departure Area untuk membeli Orange Card atau paket data di Relay. Orange Card banyak di rekomendasikan oleh orang-orang yang pernah datang ke Paris karena paket internetnya yang 10 GB masih dengan tambahan paket telpon gratis kemana saja selama beberapa jam (paket telpon ini akhirnya terpakai untuk menelpon pihak asuransi dan maskapai saat saya ada musibah di Belgia, baca disini dan disini), harganya saat itu €39.99 hampir IDR 700k, mahal ya.
![]() |
Paris dari atas, tepat sebelum pesawat mendarat di CDG. |
Setelah bertemu dengan Teman, kami mulai mempersiapkan diri
di toilet stasiun karena saya baru saja turun dari pesawat setelah hampir 2
hari perjalanan, juga karena Teman baru datang dari Berlin dan menempuh hampir
seharian naik bus ke Paris. Praktis kami seperti dodol waktu itu karena belum
mandi dan lain-lainnya selama perjalanan ke Paris. Setelahnya kami lanjutkan
jalan kaki keliling Paris dan saya berasa masuk ke dimensi lain saat
menginjakkan kaki keluar dari stasiun. “Ini
dia, Eropa” bathin saya kegirangan saat melihat gedung-gedung arsitektur
eropa disekeliling saya. Teman saya cukup pengertian dengan mengatakan kepada
saya “terserah kamu Mi mau naik apa, kamu
kan baru nyampe jadi nikmati aja kalau mau jalan kaki,” dan kami berjalan
kaki tanpa arah hingga berujung ke Menara Eiffel malam harinya.
Rute yang kami lalui selama sehari di Paris dengan berjalan kaki, 6 Mei 2018. |
Dari Gare Du Nord kami jalan kaki lurus ke bawah ke arah Grevin
Museum lalu lanjut masuk melewati passage
des panoramas sampai akhirnya leyeh-leyeh di area Jardin du Palais Royal. Di
JdPR kami berfoto-foto ria sambil ngadem karena Paris saat itu sangat terik
tanpa ada angin yang berhembus, berbeda dengan saat pagi tadi yang dingin. Kami lanjut kembali ke arah Musee De Louvre
yang meskipun panas membahana kami tetap foto sana sini sampai akhirnya
kelelahan sendiri. Teman sebenarnya mengajak saya untuk masuk ke Museum, namun
karena saya tidak begitu tertarik dengan museum akhirnya teman berencana untuk
masuk kesana sabtu depan (karena Jumat malam sampai minggu depannya kami
kembali ke Paris, namun rencana tinggal-lah rencana, baca ini).
Karena perut sudah mulai keroncongan, kamipun beranjak
menuju restoran manapun yang terlihat ramai saat itu dan memutuskan untuk masuk
ke Self Service Tuileries, buka disini.
Saya sebenarnya tidak cukup lapar karena masih kenyang sarapan di pesawat tadi
pagi, hingga akhirnya saya hanya memakan makanan yang saya beli sedikit dan
membiarkannya begitu saja. Kalau dipikir-pikir saya kok tega banget
menghabiskan €10+ atau IDR 167.500+ untuk makanan dengan porsi
sebesar itu tapi akhirnya tidak saya habiskan begitu saja. Sebenarnya saya masih jetlag dengan rasa makanan disana, makanya saya tidak bisa
menghabiskannya.
Kami lalu melanjutkan perjalanan ke arah Musee de
l’Orangerie dengan melewati Jardin des Tuileries yang penuh dengan orang-orang
yang menikmati harinya di cuaca cerah yang jarang mereka dapati. Apalagi saat
itu masih perpindahan antara musim semi ke musim panas yang otomatis membuat
orang keluar untuk sun-bathing di
taman-taman kota. Bahkan saat kami berjalan ke arah Hotel des Invalides di
kanan kiri jalan banyak sekali orang-orang yang hampir saja topless saking
senangnya bermandikan matahari disana. Kami (saya terutama), tentu saja syok
melihatnya karena itu pertama kalinya saya melihat orang-orang ber-sun-bathing ria ditengah kota, namun saya berusaha
memahami mereka.
Kami lalu berjalan kembali ke arah Menara Eiffel,
kami sempatkan pula untuk membeli gelato di Amorino. Kami sengaja membeli
disana karena antrian mengular panjang didepannya, tetep stigma “banyak pembeli berarti enak” membuat kami tergoda untuk turut ikut mengantri
disana hahaha. Kami lanjut membeli buah di Les Halles Bosquet dekat dengan
Amorino tadi. Kami membeli buah tersebut karena Teman saya saat itu
tergila-gila dengan buah Peach (efek Timothee Chalamet), jadi sayapun ikut
membelinya. Dengan harga €1 kami mendapatkan 4 buah Peach yang kami bagi dua sama rata. Apesnya
saya selalu mendapat Peach dengan rasa yang asam sementara Teman selalu mendapat Peach dengan rasa yang manis LOL.
Saat itu kami menikmati buah Peach di Champ deMars di area Menara Eiffel dengan suasana matahari tenggelam yang sangat indah
dilihat dari sana. Kami lalu berjalan mendekat ke arah Menara Eiffel dan
berfoto ria disana. Teman saya sebenarnya mengajak untuk masuk ke area Menara,
namun saya melihat ada seng-seng biru melingkari kaki Menara yang membuat kami
mengurungkan rencana tadi dan buru-buru menuju Gare du Nord untuk mengambil
koper kami. Saat membeli tiket subway, kami cukup kesulitan dengan pilihan yang
ada hingga beberapa menit kemudian kami sukses mendapatkan tiketnya.
Sampai Gare du Nord teman langsung mengambil
koper sementara saya membeli tiket lagi untuk menuju ke arah Paris Bercy dimana
Ouibus kami berada. Sayangnya karena terdapat kesulitan lagi, saya harus
menunggu teman untuk mendapatkan tiket yang benar. Setelahnya kami masuk ke
area stasiun dan mendapati kami salah masuk peron disana. Rada tricky karena banyaknya lantai yang ada
membuat kami kesulitan menemukan peron yang tepat. Apalagi orang-orang disana
tidak juga mau membantu saat kami tanyai. Lalu kami sampai di peron yang benar
dan menuju ke Paris Bercy dengan mengharap tidak ketinggalan bus yang tinggal
beberapa menit lagi menuju ke Amsterdam.
Sesampainya di Paris Bercy, kami kebingungan
karena tidak ada sign yang mengarahkan kami ke ouibus. Beruntungnya, ada orang
yang mengarahkan kami kesana karena mereka juga sama-sama menuju ke bus
tersebut. Pas sekali sampai di bus sang sopir sudah mengecek tiket maupun
passport penumpang disana. Meskipun ngos-ngosan, kami berhasil on-time dan masuk di bus dengan perasaan
lega. Kalau kami telat beberapa menit saja, sudah pasti kami akan
ditinggal begitu saja. Beberapa menit setelah kami duduk didalam Bus dan tepat
pada pukul 23.00 Bus mulai berjalan ke arah Amsterdam. Bersambung...
Tulisan dibuat pada 04 September 2020